Sengketa Lahan di Rante Balla: Husba Phada, Tanggapi Kritis Terhadap Pernyataan Prof. Ilmar

Mubaraq Adlu

Makassar – Pernyataan Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Ilmar, mengenai langkah hukum yang harus diambil oleh PT. Masmindo dalam kasus sengketa lahan di wilayah konsesi Rante Balla, mendapatkan tanggapan kritis dari Husba Phada selaku Tokoh Masyarakat Latimojong. Meski diakui bahwa langkah hukum adalah langkah baik, namun beberapa pihak mengingatkan bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 96 Tahun 2021, penyelesaian hukum seharusnya menjadi solusi terakhir setelah tahapan mediasi yang melibatkan pemerintah.

“Menurut aturan tersebut, PT. Masmindo Dinamika Alam (MDA) tidak memiliki wewenang untuk melakukan pembebasan lahan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa pembebasan lahan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, Pasal 136 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus menyelesaikan hak atas tanah dengan pemilik lahan sebelum memulai operasi produksi,” jelas Husba Phada.

“Dengan demikian, PT. MDA wajib menempuh jalur tawar-menawar dengan pemilik lahan untuk penyelesaian hak. Jika tidak tercapai kesepakatan, tindakan penyerobotan atau perusakan lahan warga merupakan tindak pidana. PP No. 96 Tahun 2021 juga mengatur bahwa jika proses tawar-menawar gagal, pemerintah daerah harus membentuk tim mediasi. Jika mediasi daerah tidak berhasil, kasus ini kemudian akan diajukan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mediasi lanjutan. Hanya jika mediasi di tingkat kementerian juga gagal, barulah langkah hukum dapat ditempuh melalui pengadilan,” lanjut Husba Phada.

Warga yang mempertahankan hak atas tanah dan tanamannya sah secara hukum, dan tanggapan bahwa tidak ada pemilik lahan dalam wilayah konsesi PT. Masmindo dianggap tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagian besar lahan di wilayah konsesi PT. Masmindo, termasuk di Desa Rante Balla dan Boneposi, adalah permukiman, persawahan, dan kebun yang telah dimiliki warga selama ratusan tahun sebelum PT. Masmindo mendapatkan izin konsesi. Warga juga memiliki bukti sah kepemilikan berupa sertifikat atau surat keterangan lainnya.

“Terkait saran Prof. Ilmar agar PT. Masmindo tetap melanjutkan kegiatan di area konsesi sambil proses hukum berjalan, tanggapan kritis menyatakan bahwa langkah tersebut tidak tepat. UU No. 4 Tahun 2009 mewajibkan perusahaan untuk menyelesaikan hak-hak pemilik tanah sebelum memulai operasi. Mengingat proyek PT. Masmindo di Kecamatan Latimjong, Kabupaten Luwu, bukan merupakan proyek strategis nasional, tidak ada alasan untuk memberikan perlakuan khusus bagi proyek ini,” terang Husba sapaan akrabnya.

Sebelumnya, PT. Masmindo diduga melakukan tindakan penyerobotan lahan warga dengan menebang pohon cengkeh di lahan tersebut, di bawah pengawalan aparat keamanan. Tindakan ini telah dilaporkan oleh para pemilik lahan ke Polres Luwu dan Polda Sulawesi Selatan dengan pendampingan dari berbagai organisasi masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), serta mahasiswa.

Kasus ini juga menarik perhatian organisasi lain, termasuk Badan Pengurus Wilayah Kerukunan Keluarga Luwu Raya (BPW KKLR), yang meminta agar izin usaha PT. Masmindo dicabut. Badan Pengurus Pusat (BPP KKLR) bahkan telah bersurat kepada Kementerian ESDM, DPR RI, Kapolri, serta Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang untuk meninjau ulang dan membekukan IUP PT. Masmindo. Reaksi ini timbul sebagai bentuk penolakan terhadap berbagai tindakan yang dianggap melawan hukum dan dilakukan oleh pihak PT. Masmindo terhadap pemilik lahan.(*)

Kabar Terkait